Karimun

Zakat Muqayyad | Haluan Kepri – Kepri Terdepan


  • Oleh: Muhith, M. Ag, Ketua Baznas Kota Batam

Zakat muqayyad adalah zakat yang dikeluarkan oleh muzaki, baik perseorangan atau badan hukum dengan memberikan batasan tertentu dari dari muzaki kepada mustahik yang akan menerima zakat. Misalnya muzaki seorang Ketua DPRD memberikan zakatnya kepada badan amil zakat agar zakat yang dikeluarkan tersebut hanya diberikan kepada mustahik yang terkena korban tanah longsor atau korban banjir dan jenis-jenis musibah tertentu lainnya.

Secara tekstual, zakat berasal dari kata zakah yang berarti bersih, suci, subur, berkat, dan berkembang sehingga orang yang mengeluarkan zakat diharapkan hatinya bersih. Menurut istilah, zakat adalah sejumlah harta yang wajib dikeluarkan oleh umat Muslim dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya sesuai dengan syarat yang telah ditetapkan.

Menurut Undang-undang No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan zakat, Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Menurut IbnuTaimiyah yang dikutip oleh Hikmat Kurnia dan Ade Hidayat dalam bukunya “Panduan Pintar Zakat” menyebutkan, seseorang yang mengeluarkan zakat itu hatinya menjadi suci dan bersih serta berkembang secara maknawi. Dinamakan berkembang karena dengan membayar zakat harta yang dimiliki dapat berkembang sehingga tidak menumpuk di suatu tempat atau pada seseorang.

Sedangkan muqayyad dalam ilmu ushul fiqh yaitu: lafadz yang khas yang menunjukkan kepada makna keseluruhan yang dibatasi dengan sifat dari beberapa sifat, keadaan dan syarat tertentu, misalnya orang mukmin laki-laki, puasa dua bulan berturut-turut dan sebagainya. Diantara ayat al-Qur’an yang muqayyad yaitu terdapat dalam QS. al-An’am /6: 145, yaitu artinya “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”. Lafadz “dam” (darah) dalam ayat di atas berbentuk muqayyad, karena diikuti oleh qarinah atau qayid yaitu lafadz “masfuhan” (mengalir). Oleh karena itu darah yang diharamkan menurut ayat ini ialah “dam-an masfuhan” (darah yang mengalir), sehingga hati dan limpa atau paru-paru termasuk jenis darah yang halal dimakan berdasarkan nash yang ada dalam hadist tidak termasuk darah yang mengalir.

Bagaimana ketetapan hukum zakat muqayyad? Pada dasarnya hukum tetapnya adalah mengamalkan kemuqayyadan (pembatasan) selama tidak ada dalil yang membatalkan batasannya. Jika berbicara mengenai infaq dan shadaqah, maka dalam menyalurkannya tidak ada dalil yang khusus untuk diberikan kepada seiapa saja yang dianggap membutuhkan. Berbeda dengan zakat dimana dalam menyalurkannya ada dalil spesifik yang telah ditentukan sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Taubah/9:60 artinya “Sungguh zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”

Dalam ayat tersebut memang tidak menyebutkan korban bencana sebagai orang yang berhak menerima zakat, namun, jika diperhatikan lebih dalam untuk menggugah empati, maka, orang yang terkena bencana sama dengan orang yang mendadak menjadi miskin dan bahkan menjadi fakir, sehingga penyaluran dana zakat kepada korban bencana dengan mengqiyaskan (menganalogikan) sebagai orang yang berhak menerima zakat dalam asnaf miskin atau fakir. Alasan kongkritnya orang yang terkena korban bencana adalah termasuk orang yang kekurangan dan sangat membutuhkan. Bahkan menurut jumhur ulama orang yang sangat mebutuhkan diperbolehkan untuk meminta-minta. Sebagaimana Sabda Rasulullah artinya: Diriwayatkan dari Yahya binYahya dan Qutaibah bin Said, keduanya menceriatakan dari Hammad bin Zaid, yahya berkata: Hammad bin Zaid menceritaan kepada kami dari Harun bin Riyab, Kinanah bin Nuaim al ‘Adawy dari Qabishah bin Muhariq l-Hilaly, ia berkata; Aku membawa beban berat, lalu mendatangi Rasulullah lalu aku bertanya kepada Nabi tentangnya. Beliau menjawab: “Tingggallah kamu sampai shadaqah datang, lalu kami memberikannya padamu”. Kemudian Rasulullah bersabda: Ya Qabishah sesungguhnya tidak boleh meminta-minta kecuali untuk tiga orang; seseorang yang membawa beban berat, maka halal baginya meminta-minta sampai memperolehnya kemudian menghentikannya; seseorang yang tertimpa bencana yang menhancurkan hartanya, halal baginya meminta-minta sampai mendapat makanan untuk hidup dan tegak kembali; dan seseorang tertimpa kemiskinan, maka halal baginya meminta-minta sampai mendapatkan makanan untuk hidup dan tegak kembali. Adapun meminta-minta diluar itu haram ya Qabishah, maka hasilnya pun haram (HR. Muslim). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penyaluran dana zakat untuk korban bencana dibolehkan dengan ketentuan diambilkan dari bagian fakir miskin atau gharimin.

Terkadang dijumpai dalam masyarakat, mempraktikan zakat muqayyad secara individu atau kelompok, dimana seorang individu tersebut menyalurkan dana zakatnya hanya diberikan kepada masyarakat tertentu yang ada dalam asnaf zakat. Begitu juga terkadang terjadi dalam suatu kelompok mempraktekkan zakat muqayyad dimana pendistribusiannya hanya dibagikan kepada kelompok tertentu tersebut, walaupun zakat muqayyad tersebut diperbolehkan namun dari segi sisi tujuan dan manfaat zakat, kurang maksimal karena pendistribusian dana zakatnya tidak bisa dinikmati semua asnaf yang berhak menerima zakat.

Zakat muqayyad bagi pengelola zakat seperti Baznas atau LAZ yang tidak berkaitan dengan partai politik atau pasangan calon bupati/walikota atau pasangan gubernur hukumya diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan syariat islam. Misalnya, Baznas Kota Batam mengamanahkan kepada Baznas NTB, untuk menyalurkan ratusan bantuan paket sembako, pakaian dan obat-obatan hanya khusus untuk diberikan kepada korban bencana gempa. Maka, berlaku hukum zakat muqayyad bagi penerima penyaluran dana zakat hanya khusus untuk penerima korban bencana gempa, korban bencana yang lainnya tidak diperbolehkan karena akad zakatnya sudah khusus untuk korban bencama gempa. Berbeda jika akadnya hanya menyebutkan korban bencana tidak dikhususkan (qayyidi) maka, mustahik yang mendapatkan bencana berhak menerima penyaluran dana zakat.

Pendistribusian dana zakat muqayyad dari pengelola zakat seperti Baznas atau LAZ yang berkaitan dengan partai politik atau pasangan calon bupati/walikota atau pasangan gubernur, tentu tidak diperbolehkan. Sebab, Baznas atau LAZ adalah lembaga independen. Selain itu dalam Lampiran Perbaznas No: 06 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan kerjasaa di lingkungan pengelola zakat tidak mengatur mengenai kerjasama dengan partai politik, dan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antara Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dengan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menyangkut kerjama dalam mengawasi Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019 di Kantor Bawaslu, Sarinah, Jakarta Pusat, tanggal 8 Juni 2018, sehingga jika ada pengurus partai politik atau pasangan calon bekerjasama menyalurkan dana zakat untuk kepentingannya jelas tidak diperbolehkan dan melanggar peraturan serta dapat dilaporkan kepada Bawaslu sebagai bentuk money politik dalam pemilu, dalam hal ini yang berlaku adalah undang-undang pemilu. Dengan demikian zakat muqayyad yang penyaluran dana zakatnya dikaitnya dengan partai politik atau pasangan calon bupati/walikota atau pasangan calon gubernur hukumnya tidak boleh.

Pendistribusian dana zakat muqayyad berkaitan dengan korban covid-19 sebagaimana terdapat dalam fatwa MUI N0 23 tahun 2020 tentang pemanfaat dana zakat infaq dan shadaqah untuk penanggulangan wabah covid-19 dan dampaknya, maka, pertama, mengenai haul (batas waktu) mengeluarkan zakat boleh dipercepat, kedua, berkaitan dengan metodenya adalah dalam bentuk ikhtiar yang ditujukan untuk mencegah penyebaran COVID-19, merawat dan menangani korban covid-19, memperkecil angka kematian, membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain, serta membantu kesulitan umat Islam yang terdampak covid-19. Namun, penerima zakat tetap mengacu kepada 8 asnaf dalam zakat yakni muslim yang fakir, miskin, amil, muallaf, yang terlilit hutang, riqab, ibnu sabil, dan/atau fi sabilillah.

Dalam kasus bencana covid-19, maka, terjadi pergeseran status yang cepat, satu kasus misalnya ada salah seorang ibu rumah tangga yang hidup di perumahan yang mewah, namun karena suaminya orang singapura yang kebetulan usianya sudah di atas 50 tahun dimana di Negara Singapura orang tersebut diberlakukan lock down orang tersebut tidak boleh keluar rumah, bahkan hanya sekedar untuk mentransfer uang untuk istrinya yang berada di Batam. Jika lock down-nya lebih satu bulan, kemudian istrinya adalah seorang ibu rumah tangga yang menetap di Batam, walaupun punya rumah mewah, namun nggak punya uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka ibu rumah tangga tersebut termasuk mustahik yang berhak menerima zakat muqayyad karena dampak covid-19.

Dalam fatwa MUI tersebut dana zakat yang dialokasikan kepada mustahik dampak covid-19 adalah boleh dalam bentuk uang tunai, makanan pokok, keperluan pengobatan, modal kerja, dan yang sesuai dengan kebutuhan mustahiq. Bahkan dalam asnaf fisabilillah pemanfaatan boleh dalam bentuk aset kelolaan atau layanan bagi kemaslahatan umum, khususnya kemaslahatan mustahiq, seperti untuk penyediaan alat pelindung diri, disinfektan, dan pengobatan serta kebutuhan relawan yang bertugas melakukan aktifitas kemanusiaan dalam penanggulangan wabah. Dengan demikian fatwa MUI tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk zakat muqayyad dimana mustahiknya adalah masyarakat luas yang terkena dampak covid-19. Wallahu a’lam.***



Sumber

Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Most Popular

Ke Atas