Karimun

Mewaspadai Bencana Moral | Haluan Kepri – Kepri Terdepan


  • Oleh: H. Muhammad Nasir. S.Ag.MH, Kakan Kemenag Lingga

Pergeseran paradigma dalam dunia yang sedang berubah, merupakan tantangan tersendiri bagi generasi milenial saat ini. Runtuhnya sendi-sendi moralitas dan akhlak merupakan bukti nyata yang tak dapat dipungkiri. Disadari atau tidak, tatanan dunia baru dan generasi yang menapakinya terus berubah, sebagaimana yang ditulis oleh seorang filsuf Yunani Heraklitos dengan mengatakan “Change in the only constan” (Dr.A.Ilyas Ismail, MA:2018 ).

Setiap perubahan pada dasarnya memiliki peluang dan sekaligus memiliki tantangan atau ancaman. Pada abad baru ini atau sering sebut sebagai abad generasi milenial, memiliki empat kecenderungan tantangan besar yang sedang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia, yakni, pertama, tantangan demografi, yaitu pertumbuhan penduduk dunia yang terus meningkat. Kedua, tantangan perkembangan dan kemajuan iptek, khususnya teknologi komunikasi dan informasi. Ketiga, tantangan urbaninasi, yang menyebabkan kota-kota besar di dunia makin sesak. Keempat, tantangan globalisasi, yang telah membuat bangsa-bangsa di dunia bukan saja saling tersambung, melainkan juga saling bergantung (Thomas L. Frietman : 2007).

Mega trends yang kita hadapi saat ini telah memengaruhi perilaku mental yang berakibat terhadap melemahnya pendidikan dan perilaku akhlak yang ditanamkan selama ini.

Era baru yang sering juga disebut dengan era digital, merupakan era transformasi global yang sangat ampuh memengaruhi fakta kehidupan sosial. Fakta kehidupan sosial yang sebelumnya bersifat akomodatif terhadap nilai-nilai akhlak berubah menjadi anti akomodatif. Urusan akhlak seakan-akan tidak lagi menjadi urusan banyak orang, tetapi menjadi urusan diri sendiri dan tanggung jawab pribadi. Kita mau baik atau tidak tergantung kemauan kita sendiri. Kondisi perubahan semacam ini jika dibiarkan terus-menerus tanpa ada solusi yang tepat, akan berdampak pada kerugian manusia atau generasi itu sendiri. Disinilah pentingnya membangun kembali kesadaran baru dalam tatanan dunia baru yang sedang kita hadapi.

Kesadaran baru yang kita tawarkan adalah kesadaran profetik era milenial dan kesadaran ini kita sebut sebagai kesadaran milenial. Kesadaran milenial merupakan daya fitrah yang kuat dengan basis nilai profetik untuk kembali menerapkan prinsip-prinsip akhlaq yang dicontohkan Rasulullah SAW. Penerapan prinsip-prinsip akhlak ini diharapkan mampu memperkuat moralitas serta mendorong kembali teguhnya pendidikan akhlak dalam masyarakat. Dengan pendidikan akhlak, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan, maupun oleh lembaga pendidikan keluarga diharapkan pula dapat menjadi efektif membangun kembali realitas dan fakta sosial masyarakat yang beradab.

Perilaku akhlak merupakan fakta sosial yang khas. Keberadaannya menjadi dasar peradaban mulia. Dia dapat tumbuh dan berkembang dalam kontek perkembangan budaya masyarakat manapun. Tetapi ia juga bisa runtuh dan sirna akibat melemahnya nilai-nilai dan semangat agama (baca: kesadaran) masyarakat. Jika nilai-nilai dan semangat agama ini runtuh, dapat dipastikan perilaku akhlak dan peradaban mulia akan runtuh pula, maka kehidupan sosial akan mengalami bencana yang lebih dahsyat yaitu bencana moral yang sangat ditakuti.

Jelmaan bencana moral yang ditakuti itu sudah tampak dalam kehidupan kita hari ini. Lihat saja maraknya pornografi, perilaku korup dan manipulatif, serta pelanggaran berbagai nilai dan norma agama, adat, budaya, serta etika kemanusiaan, kesewenang-wenangan dan penindasan serta perilaku buruk lainnya yang mengerikan. Karena itu agar generasi milenial tetap dalam kodratnya sebagai makhluk Tuhan yang memiliki akhlak muliya yang menjadi basis peradaban masa depan, maka kesadaran profetik mutlak diperlukan.

Hari ini dunia sedang bertanya, apakah moralitas manusia modern hari ini masih dapat dikatakan baik? Jawabannya variatif, ada yang menjawab tidak ada, dan ada yang menjawab masih ada yang baik. Namun, yang jelas moralitas orang modern jika diukur dengan kalkulasi kejahatan misalnya, seberapa banyak orang yang melakukan kejahatan, seperti korupsi, narkoba, mencuri, maling, begal, perkosaan dan lain sebagainya, lalu seberapa banyak orang yang menempuh jalur pengadilan untuk menyelesaikan perkaranya. Maka akan ditemukan jawaban bahwa moralitas orang-orang modern sedang diterpa bencana.

Pertanyaan kita adalah seberapa pentingkah kesadaran bagi manusia hari ini?

Kesadaran amatlah penting dalam kehidupan ini. Menurut Ali Syari’ati, awal kehidupan baru adalah kesadaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Adam AS ketika beliau diusir dari surga. Ia menjadi sadar akan posisi dan keadaan dirinya sebagai manusia, sebagai individu yang bertanggung jawab dan kemudian menjadi korban kebutuhan, ketamakan dan penderitaan (Prof.Dr.Muhammad Amin Aziz. MA: 2002).

Kita menyadari bahwa generasi milenial saat ini sedang berproses menuju puncak kedigdayaan dengan peradaban Ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa batas. Proses tersebut semakin kuat dan tak dapat dibendung, sehingga pengaruhnya merambah masuk dalam tatanan keyakinan beragama. Dan bahkan dapat melemahkan kesadaran manusia yang paling hakiki dalam hidupnya.

Untuk itu kita mesti memperkuat kesadaran generasi ini dengan cara bijak. Memperkuat kembali kesadaran itu tanpa menunda-nunda kesempatan yang ada. Jika tidak, sekali lagi kita akan tenggelam dalam lumpur peradaban jahiliyah modern yang memilukan. Sudah saatnya generasi milenial membangun kembali kesadaran diri yang mulai redup. Jangan sampai dalam menapaki kemajuan peradaban modern mengalami bencana dan penyakit sosial yang merugikan.

Banyak para ahli ilmu sosial, khususnya psikologi dan antropologi sosial memberikan perhatian yang serius terhadap pentingnya kesadaran diri. Umpama saja, Prof.Dr.KH. Alie Yafie berpendapat bahwa kesadaran diri amat penting, karena akan menumbuhkan tanggung jawab kepada Allah SWT, kepada sesama makhluk dan kepada dirinya sendiri. Tanggungjawab tersebut sangat tergantung kepada kuatnya kesadaran ruhani yang dimiliki. Memperkuat kesadaran ruhani memerlukan kesungguhan yang tinggi dari seseorang. Kesadaran ruhani akan menimbulkan pengetahuan ma’rifat kepada Allah SWT. Melalui ma’rifat itulah tindakan akhlak tumbuh subur menjadi perilaku dalam hidup seseorang.

Kesadaran ruhani harus tumbuh seiring dengan proses modernisasi global yang terus bergulir menuju perubahan. Tetapi kesadaran itu tidak bisa tumbuh dan berkembang begitu saja kecuali jika manusia itu menyadari akan hakekat dan realitas kemanusiaannya.

Dalam hal ini Muhaamd Asad, menyatakan bahwa untuk menumbuhkan hal tersebut diperlukan kesadaran permanen, bangunan bathin yang kokoh dan rasa tanggung jawab yang tinggi dalam menuju kecemerlangan hidupnya. (Muhammad Asad: 1981).

Kesadaran ruhani dapat tumbuh dengan perangkat tindakan dan potensi intelektual yang dimiliki. Diantara potensi intelektual yang sangat fundamental adalah potensi batin (niat, zikir dan fikir). Potensi ini akan membangun tujuan hidup menuju kehidupan haqiqi. Untuk tindakan ini manusia tentu tidak boleh keliru dalam menempatkannya. Apabila salah dalam menempatkan maka tindakan hidup pun akan salah. Untuk itu tempatkan potensi ruhani sebagai wadah penerima pesan-pesan dan petunjuk agama.

Potensi ruhani dapat tumbuh jika petunjuk agama diletakkan diatas fikir (rasional). Dari sini akan lahir sikap cerdas dan bijak dalam menggunakan potensi dirinya untuk membangun kesadaran hakiki.

Dengan demikian kesadaran ruhani akan menjadi sumber peneguhan akhlaq. Yaitu dengan cara menempatkan kesadaran diatas fikiran bukan menempatkan fikiran diatas kesadaran. Artinya kesadaran menjadi penggerak untuk berfikir dan bertindak dalam kehidupan, bukan berfikir dan bertindak untuk menyadari kehidupan, sebagaimana yang dilakukan sebagian generasi milenial selama ini. Sebab itu dapat kita katakan bahwa kesadaran hakiki adalah kesadaran yang muncul dari ruhani terdalam yang membuahkan kesadaran rasional. Dari sini lahirnya kesadaran religius untuk kemudian menjadi perilaku akhlak dalam kehidupan.

Akhirnya kita berharap kesadaran ruhani dapat menjadi tumpuan bersama dalam melintasi zaman dan generasi, sehingga generasi milenial menjadi generasi “Rabbaniyyun” yang sadar akan eksistensinya , baik sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial, dan sebagai dirinya sendiri. Hanya dengan jalan itu generasi milenial dapat terhindar dari bencana moral yang sedang mengancam dunia global saat ini. Aamiin. ***



Sumber

Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Most Popular

Ke Atas